Saturday, September 20, 2014

Media Massa dan Media Baru


Kapita Selekta Kamis 18 September 2014 Pembicara Irwan Julianto


Bapak Irwan Julianto membagikan pengalaman dan infomasi seputar perkembangan media massa dan juga menganai media baru. Pembahasan dimulai dari media konvensional hingga media baru atau new media.

Perkembangan media massa seakan tidak pernah terhenti, akan selalu tampil dengan kemasan yang baru. Seperti zaman teknologi, semua media tampil dengan kemasan yang lebih efisian dan mudah untuk di akses maupun dinikmati oleh banyak orang. Tapi apakah kemajuan teknologi ini tiba-tiba hadir begitu saja? Jawabnya tentu saja tidak. Perkembangan dalam media massa dimulai dari Johannes Gutenberg yang berhasil menemukan mesin cetak.  Sebelumnya semua buku ditulis secara manual, dan bayangkan waktu yang diperlukan untuk menulis satu buku pasti cukup lama. Tetepi dengan hadirnya mesin cetak, maka buku-buku semua menggunakan mesin cetak sehingga dapat dibuat dalam jumlah banyak dalam waktu yang singkat. Bila penemuan dari Gutenberg adalah penemuan diwaktu yang sudah lama, penemuan yang baru lagi ditemukan oleh Zuckerberg. Yap, betul sekali ia berhasil menemukan media sosial yang disebut dengan Facebook/FB, diaman media ini membuat masyarakat atau manusia di berbagai tempat yang berjauhan dapat berjejaring dan saling berkomunikasi. Tidak dibutuhkan waktu yang lama untuk saling berkomunikasi dengan teman atau saudara yang jauh secara geografis.

Media massa memiliki berbagai jenis dari buku, koran, radio, televisi, film hingga media yang paling baru ialaha media yang berbasis pada internet. Media tradisional seperti Koran atau buku tetap keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat. Karena media-media trsdisional memiliki bentuk fisik yang nyata sedangan media baru umumnya berupa softcopy dan informasi yang ditampilkan tidak sdalam informasi yang ditampilkan oleh media tradisional. Media massa pada umumnya memiliki fungsi untuk:
1. Memberikan informasi – Informasi yang diberikan haruslah berimbang dan sesuai dengan keadan fakta yang sesungguhnya, dan tidak rekayasa atau keberpihakan.
2. Edukasi – Memberikan pengetahuan dan memperluas wawasan dari para pemakai media massa.
3. Hiburan – Selain informasi dan pengetahuan, media massa juga perlu memasukan unsur hiburan, yang mebuat pengguna media massa merasa lebih relax.
4. Membentuk Opini Publik – Dari informasi yang disapaikan oleh media massa, ini yang bisa menyebabkan menggiring opini dari masyarakat, sehingga masyarakat memiliki pandangan tertentu karena dibentuk oleh media massa.

Namun keadaan media di Indonesia sekarang bisa dikatakan masih belum cukup berimbang. Alasanya frekuensi untuk media khususnya televisi sudah habis, dan orang-orang yang memiliki frekuensi tersebut adalah orang yang sama artinya beberapa stasiun televisi dimiliki oleh satu orang yang sama.
Tipe komunikasi dibagi menjadi beberapa dan bisa dilihat dari dua sudut pandang yaitu dari Analog dan Digital

Tipe Komunikasi
Analog
Digital
Intrapersona
Diary
PDA (personal Digital Assistant)
Interpersonal
Letter
Email
Small Group
Board Games
Video Games
Large Group
Class Room
Tele Course
Mass Media
Newspaper
Web Newspaper

Dengan semakin berkembangnya media baru maka keberadaan media konvensional juga mulai goyah, maka, ada beberapa tantangan yang dimiliki oleh media konvensional, seperti

·         Pembaca Koran, semakin minim dan usia pembaca Koran juga semakin tua.
·         Sirkulasi yang stagnan.
·         Persaingan media cetak dengan media televisi dan online.
·         Kelas menengah beralih dari media cetak ke madia digital.
·         Perubahan gaya hidup dari generasi muda.
·         Membanjirnya informasi.
·        Serta hadirnya 3M (Multi-Platforms, Multi-Channels, Multi-Media)

Pada zaman sekarang dikatakan sudah pada Era Media Baru dan Media Sosial, hal ini dapat dilihat dari:
·         Ditandai dengan berkembangannya teknologi.
·         Kekuasaan dan pengaruh media massa berasa pada tangan massa atau khalayak.
·         Wajah baru media baru ialah media sosial.

Sehingga di era yang segala informasi dapat didapatkan dengan mudah dan waktu yang singkat, maka sebagai manusia harus bisa lebih bijak dalam menggunakan kemajuan teknologi dan dapat menyaring informasi dengan tepat.

Wednesday, September 17, 2014

Survey, Quick Count dan Exit Pol dalam Pemilu

Perkuliahan Kapita Selekta Kamis 11 September 2014 oleh Dra. Sarah Santi, M.Si 

Pertanyaan mendasar pada kuliah kapita selekta Kamis, 11 September 2014 kali ini adalah mengapa kita perlu belajar kapita selekta? Belajar kapita selekta adalah untuk memberikan bekal pada mahasiswa tingkat akhir untuk memahami konteks keilmuan. Hal ini juga guna untuk mempelajari tentang berbagai isu dalam masyarakat. Seperti misalnya isu politik yang belum lama terjadi.
Ya! Mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 Juli kemarin. Seperti yang kita ketahui bersama, ada konflik antara lembaga hitung cepat (quick count)  yang satu dengan yang lain. Mengapa hal itu dapat terjadi? Lalu apakah perbedaan survei, quick count ,dan exit poll dalam pemilu kemarin?
Pembahasan mengenai perbedaan survei, quick count maupun exit poll akan dibahas lebih lanjut dalam perkuliahan kali ini.

Adapun persamaan ketiga-tiganya adalah sama-sama berpegang pada metode ilmiah. Jika hal ini ditetapkan pada ketiga lembaga tersebut, maka akan terhindar dari kerisuhan, karena hasilnya akan sama. Perbedaannya hanya tergantung dari sudut pandang yang melihat.

Survei pada pemilihan umum pada tanggal 9 Juli kemarin sangat terlihat jelas dampaknya. Tanpa kita sadari atau tidak, menentuan kedua calon yang akan dipilih sebagai capres dan cawapres kemarin merupakan hasil dari survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei dalam waktu-waktu yang lalu.
Mengapa pada akhirnya capres dan cawapres hanya menampilkan 2 kandidat? Dan mengapa terpilih pula cawapres yang mendampingi masing-masing kandidat? Karena berdasarkan hasil survei yang dilakukan sebelum pemilu, hasil survei hanya memunculkan 2 calon kandidat yang pantas untuk dipilih, yaitu Jokowi dan Prabowo. Selain itu, survei juga menunjukan bahwa Jusuf Kalla akan cocok jika dipasangkan dengan Jokowi, demikian juga dengan Hatta Rajasa dan Prabowo. Ke
dua pasangan ini akan memberikan banyak kontribusi ketimbang jika Jusuf Kalla dipasangkan dengan prabowo maupun sebaliknya.
Disini survei dinilai penting karena pada dasarnya survei ada karena adanya sistem demokrasi (pemilihan langsung dari rakyat). Surveypun juga berperan untuk mengawasi pendapat opini publik.

Adapun arti penting survey opini publik dalam politik adalah:
1. Survey membuat pemerintahan yang terpilih dengan demokratis menjadi legitimate, stabil, bertanggung jawab dan efektif.
2. Survey merupakan barometer aspirasi masayarakat, sehingga survey perlu diberlakukan berkala.
3. Survey sebagai mekanisme sistematik, melalui metode ilmiah dianggap mampu mendeteksi opini dan aspirasi publik
4. Survey dianggap dapat menjaga demokrasi
5. Survey juga dianggap dapat memonitoring opini publik untuk mengetahui persepsi, harapan, evaluasi publik atas kebijakan dan proses

Dalam sebuah kasus seperti pemilihan umum kemarin, survey berperan untuk memahami perilaku voters untuk partai dalam membuat keputusan. Partai dituntut untuk mempunyai gambaran para calon dari survey apakah orang tersebut mempunyai potensi untuk menang atau tidak.

Adapun 5 market politic campaign yang mempengaruhi kandidat adalah:
1.       Media
2.       Voters
3.       Party organizer
4.       Contributors (pemilik media/ orang yang bisa berkontribusi)
5.       Interest, group, issue, activists, constituen, dll (orang yang mempunyai kepentingan tertentu)
Kesimpulan dari survey adalah, survey hanya merupakan memberi gambaran (memotret) presepsi/ opini publik kepada suatu kurun waktu yang terbatas.

Lain halnya dengan Quick count, dimana quick count mau melihat hasil perhitungan suara. Dengan menggunakan teknikn survey. Namun dalam prosesnya, terkadang quick count bermasalah karena tidak ada sinyal dan diakali dengan menye
wa satelit.
Dengan adanya quick count dapat meminimalisir kecurangan yang ada. Hasil quick count juga diharapkan akurat dan presisi sehingga mampu memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
Quick count adalah sebagai bagian dari kontrol terhadap pemilu dan bagian dari upaya menegakkan demokrasi serta mendorong berlangsungnya kejujuran.

Exit pol adalah metode yang digunakan untuk mengetahui opini publik saat media mereka keluar dari bilik suara. Biasanya hal ini hanya untuk menggambarkan profil pemilih, misalnya seperti memilih partai tertentu, pemberi dukungan kandidat yang sesama ras, suku, agama, pendidikan dan hal lainnya.



Kode Etik Jurnalistik Indonesia

Kapita Selekta Pertemuan Kamis 28 Agustus 2014

Pembahasan mengenai kode etik jurnalistik, menjadi pembahasan yang menarik dalam pertemuan pertama. Ternyata kode etik jurnalistik mengalami perkembangan selama diIndonesia, tidak langsung menjadi sebuah kode etik yang lengkap tetapi melalui proses yang bersamaan dengan perkembangan pers di Indonesia. Jika diurutkan, maka sejarah pembentukan, pelaksanaan, dan pengawasan Kode Etik Jurnalistik di Indonesia terbagi dalam lima periode. Berikut kelima periode tersebut:


1. Periode Tanpa Kode Etik Jurnalistik
Periode ini terjadi ketika Indonesia baru lahir sebagai bangsa yang merdeka tanggal 17Agustus 1945. Pada saat itu masih belum ada Kode Etik Jurnalistik. Akibatnya, pada periode ini pers berjalan tanpa kode etik.

2. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 1
Pada tahun 1946Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dibentuk di Solo, tapi ketika organisasi ini lahir pun belum memiliki kode etik.Setahun kemudian, pada 1947, lahirlah Kode Etik PWI yang pertama.

3. Periode Dualisme Kode Etik Jurnalistik PWI dan Non PWI
Setelah PWI lahir, kemudian muncul berbagai organisasi wartawan lainnya. Karena hanya ada Kode Etik PWI saat itu,  Dewan Pers membuat dan mengeluarkan pula Kode Etik Jurnalistik.

4. Periode Kode Etik Jurnalistik PWI tahap 2
Pada tahun 1969, keluar peraturan pemerintah mengenai wartawan. Pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah mengesahkan PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan Indonesia

5. Periode Banyak Kode Etik Jurnalistik
Seiring bergantinya orde baru ke era reformasi, dunia pers pun ikut berubah.  tahun 1999, lahir Undang-Undang No 40 tahun 1999 Pasal 7 ayat 1, yang membebaskan wartawan dalam memilih organisasinya. sehingga munculah berbagai organisasi wartawan baru. Ketentuan akan Kode Etik Jurnalistik pun menjadi banyak. 

Adapun fungsi dari lahirnya Kode Etik Jurnalistik Indonesia:
a. Melindungi keberadaan seseorang profesional dalam berkiprah di bidangnya;
b. Melindungi masyarakat dari malpraktek oleh praktisi yang kurang profesional;
c. Mendorong persaingan sehat antarpraktisi;
d. Mencegah kecurangan antar rekan profesi;
e. Mencegah manipulasi informasi oleh narasumber

Dalam Kode Etik Jurnalistik juga memiliki Asas-asas yang terkandung, seperti:
1. Asas Demokratis: 
Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan independen.

2. Asas Profesionalitas
Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya. 

3. Asas Moralitas
Asas moralitas ini antara lain Wartawan tidak menerima suap, wartawan tidak menyalahgunakan  profesi, tidak diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut  identitas korban kesusilaan, dan lainnya.

4. Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang berlaku. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku. 

Adapun Kode Etik Jurnalistikyang ditetapkan oleh wartawan Indonesia seperti:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Pasal 7Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Pasal 8Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Bukan lah hal yang mudah bagi seorang wartawan dalam memenuhi kode etik Jurnalistik tersebut. Dimana wartawan dituntut untuk bersikap profesionalisme. Namun disisi lain, dengan adanya Kode Etik Jurnalistik tersebut, hak wartawan lebih diperhatikan dalam menjalankan tugasnya. 
Mereka yang disebut-sebut sebagai pilar keempat negara dimana ditugaskan ntuk menjadi anjing pengawas juga diberikan kewenangan untuk meliput dan menyebarluaskan kepada masyarakat dengan bersifat transparant.
Namun sayangnya, dalam menjalankan kewajibannya sebagai wartawan/jurnalis, masih banyak diantara mereka yang lupa atau dengan sengaja mengabaikan Kode Etik Jurnalistik ini. Maka dari itu, pendidikan akan Kode Etik Jurnalisti menjadi satu hal yang wajib dan sangat diperlukan bagi setiap calon wartawan/ jurnalis.