Sebuah lembaga media umum yang ditonton oleh masyarakat umum tentu mempunyai batasan-batasan tersendiri yang mengatur akan isi siaran yang disajikan untuk masayarakat. Tentu hal tersebut bertujuan agar masayarakat sebagai konsumen dapat menikmati setiap isi siaran yang disajikan dengan tidak berlawanan dengan budaya-budaya yang dimilikinya.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsCK-olqk21TJDgpZwG2f66ecMzGwN6ZY0ogm0Jv3FONU1cq5Ri9cmzipUYR9qTvcibIUiBm3W3WXcy8_RVP2w72x3qUXz0EPoL7OWznJVchDglEcE4jDcaITmO_2Hw6ubRhSArXVmlN4/s1600/himpunan-peraturan.jpg)
ian disiarkan menurut atau bergantung pada selera penonton atau pemirsa. Hasil dari acara tersebut diterima dengan citarasa yang berbeda-beda di setiap penonton. Selera penonton atau yang biasa disebut dengan Segmented Audience lah yang mengatur seberapa diterimanya suatu acara dalam industri pertelevisian. Sehingga suatu peraturan, tidaklah lagi dapat menjadi tolak ukur yang dapat menyamaratakan semua keadaan.
cara tersebut. Namun, karena adanya perbedaan culture di Aceh, Aceh sangat menolak film tersebut. Hal yang mempengaruhi hal tersebut tentu karena adanya Segmented Audience.
Selain itu, isi siaran juga dapat mempengaruhi khalayak dimana dikenal dengan Pervasiveness Theory. Hal ini juga mempengaruhi jenis saluran yang digunakan. Semisalnya Televisi lebih canggih karena menyiarkan Suara, Gambar yang bergerak secara bersamaan. Hal ini membuat radio terbelakang, namun sekarang Radio Republik Indonesia (RRI) sudah mengupayakan agar RRI bisa ditonton juga.
Sebuah lembaga penyiaran pada umumnya mempunyai standart atau ukuran baku yang mengatur boleh atau tidak bolehnya siaran itu disiarkan. Peraturan yang berisi pelanggaran-pelanggaran tersebut terdapat pada baku IKRI mengatur tentang bermacam-macam peraturan penyiaran.
Salah satu bentuk peraturan yang nyata adalah, bagaimana sebuah isi siaran harus menghargai harkat manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan seseorang ataupun kelompok. Namun pada dasarnya, peraturan tidak akan dapat berjalan jika tanpa adanya argumen-argumen yang menjelaskan isi dari peraturan tersebut. Jangan pernah mengatur boleh atau tidak boleh jika tanpa disertai dengan argumen ataupun alasan-alasan yang jelas. Karena, hal ini akan kembali pada latar belakang yang dapat mempengaruhi peraturan tersebut.
Segala sesuatu dikatakan boleh atau tidak boleh jika memiliki makna argumen yang jelas dan sesuai dengan konteksnya. Semuanya akan kembali ke konteks mengapa peraturan tersebut diciptakan. Jika sebuah peraturan tersebut tidak memiliki konteks yang jelas, maka dapat dikatakan peraturan tersebut tidak memiliki nilai atau value yang jelas.
Sama halnya dalam larangan dalam dunia periklanan, dimana memiliki peraturan sendiri yang mengatur. Seperti pada iklan rokok terutama. Hal lainnya yaitu mengenai kepemilikan, dimana VUP melarang akan adanya monopoli dalam periklanan. Adanya Diversity of content dan Diversity of ownership juga merupakan tolak ukur di dalam dunia periklanan pada umumnya.
No comments:
Post a Comment